Banyak yang mengatakan, sudah tidak
eranya lagi bagi industri media meminta perlindungan pemerintah karena saat ini
eranya pasar bebas dan keterbukaan. Namun kondisi ini justru tidak berlaku di
sejumlah negara seperti Cina dan India.
Di kedua negara tersebut ada perlindungan
khusus untuk industri media dalam negeri dengan memberikan subsidi khusus agar
terus bisa bersaing bahkan melarang media asing masuk. Mereka meyakini bahwa
industri media lokal adalah potensi bangsa yang harus dijaga dan diperhatikan.
Karena jika negara perlu sesuatu, media nasionallah yang dapat membantu apalagi
jika dalam situasi darurat. Yang ironis justru di dalam negeri
kita. Pemerintah justru membiarkan perusahaan-perusahaan asing itu ‘menjajah’
warganya dan membiarkan industri media lokalnya jatuh berguguran. Resiko pasar
dan perubahan katanya.
Perubahan dan kemajuan teknologi
memang tidak bisa ditolak karena ini sebuah keniscayaan. Namun melindungi
perusahaan lokal khususnya media bukan pekerjaan sulit bagi pemerintah
seharusnya. Bayangkan jika perusahaan media yang ada saat ini baik di pusat dan
daerah harus bersaing berebut iklan dengan Google, Facebook, Twitter, Youtube,
dan lain-lain. Perusahaan raksasa dengan modal selangit dan teknologi canggih
ini tidak akan mampu dilawan perusahaan media besar pun di dalam negeri. SDM,
infrastruktur mereka sudah lengkap, butuh waktu untuk bersaing dan melawan.
Saat ini banyak media cetak yang
tumbang karena tidak mampu lagi menahan kerugian yang terus membesar.
Pengeluaran dan pemasukan iklan yang tidak imbang membuat idealisme membangun
surat kabar untuk mencerdaskan bangsa harus runtuh.
Media cetak memang membutuhkan biaya
besar khususnya untuk pembelian kertas dan bahan baku lainnya. Apalagi untuk koran
yang belum punya percetakan sendiri, situasinya jadi semakin berat. Ditambah
belum tumbuhnya minat baca masyarakat Indonesia karena keburu diserbu teknologi
yang memudahkan dan membuat orang jadi malas membaca. Di India, pemerintahnya
memberikan subsidi kertas untuk media cetak nasional karena biaya untuk
pembelian kertas memang sangat mahal. Ini adalah bentuk perhatian dan
kepedulian pemerintah India untuk melindungi media nasionalnya.
Lalu apa yang sudah dilakukan
pemerintah? Belum ada.
Bagaimana dengan industri radio?
Radio diyakini masih akan tetap
hidup selama masih ada frekwensi. Ruang udara ini memang milik pemerintah yang
dipinjamkan ke swasta untuk dikelola. Fakta yang ada sekarang, jika media cetak
tumbang dan makin sedikit, radio justru tumbuh dan semakin banyak jumlahnya,
sekitar empat ribuan radio tersebar di seluruh Indonesia. Wow!!
Bahkan riset terakhir Nielsen 2016
menempatkan radio di posisi ke empat sebagai media yang masih diminati setelah
televisi, billboard, online. Hanya beda dua persen dengan media online.
Namun data yang cukup bagus ini
sebenarnya tidak sebanding dengan pemasukan yang diterima. Radio meski kuat
bertahan namun tidak memiliki kemajuan yang berarti. Belanja iklan radio pun
terus turun, kondisi radio khususnya di daerah seperti hidup segan mati tak
mau. Jangan sampai kondisi radio nasional seperti media cetak yang dibiarkan
runtuh satu per satu.
Radio, bagaimanapun menjadi media
yang sangat penting sebagai perekat NKRI. Radio hadir hingga pelosok negeri dan
perbatasan yang tidak bisa dijangkau koran dan televisi. Radio adalah alat
perjuangan, alat informasi yang efektif untuk menyebarluaskan pesan-pesan
pemerintah. Bahkan saat ini radio bisa jadi penyeimbang di tengah maraknya media
sosial yang penuh caci maki tanpa sensor.
Nasionalisme radio juga tidak perlu
diragukan. Sejak dulu hingga sekarang radio adalah media perjuangan yang dengan
mudah menyampaikan misi bangsa, misi pemerintah dan nilai2 luhur pancasila.
Sehingga sejatinya, radio harus dilindungi, pemerintah harus punya aksi yang
jelas untuk membantu industri radio agar bisa tumbuh dan bersaing. Banyak hal
yang bisa dilakukan, dengan memberikan kemudahan izin, pengurangan pajak,
partnership dan memberi porsi iklan yang proporsional.
Angin segar hadir dalam diskusi POLEMIK Sindotrijaya FM bertajuk “Radio
Perekat NKRI, Satu Suara Berjuta Telinga” dalam memeringati HUT ke-42
Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Sejumlah narasumber
yang hadir optimis bahwa radio akan terus hidup.
Menkominfo Rudiantara yang hadir dalam diskusi termasuk Ketua Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), Yuliandre Darwis dan Anggota Komisi I DPR, Biem
Benyamin, menyatakan komitmennya untuk memberi perhatian khusus kepada radio
sebagai media nasional khususnya dalam revisi UU Penyiaran yang baru, seperti
penyederhanaan izin, pelatihan dan partnership.
Sementara pembicara lain, pengamat media, Agus Sudibyo mengatakan
sudah sangat urgent bagi pemerintah dan DPR bersikap melindungi media nasional
dari media global seperti Facebook, Youtube, Google, dan lain-lain. Apalagi
fakta mengatakan bahwa belanja iklan dalam negeri sangat besar masuk ke media
global tersebut dan media-media itu belum jelas pembayaran pajaknya untuk
negara. Sementara media nasional dikejar-kejar pajak terus dan jika terlambat bisa
didenda. Yang terjadi tidak ada kesetaraan dan level playing field yang
berbeda.
“Jika ini dibiarkan, pemerintah dan DPR membiarkan maka media
nasional dalam bahaya besar. Mereka bisa tumbang pelan-pelan dan ujungnya
mengancam NKRI,” ujar Agus.
Sementara terkait radio, Agus yakin akan terjadi titik balik yang
ekstrim. Nanti mereka yang jengah dan jenuh dengan media sosial karena banyak bullying, kata-kata kasar dan cenderung
negatif akan berpindah ke radio yang lebih menghibur, santun dan informatif.
Selamat ulang tahun ke-42 PRSSNI, semoga terus membina radio
nasional untuk terus menjadi perekat NKRI
#1SuaraBerjutaTelinga
(Gaib Maruto Sigit, Pemimpin Redaksi
Sindotrijaya FM)
No comments:
Post a Comment