(Tulisan ini dimuat di Rubrik Opini Koran Sindo, September 2016)
Geger
soal pengampunan pajak (tax amnesty)
bukan sebuah kesengajaan yang dibuat pemerintah untuk menutup suatu isu
tertentu. Keributan dan kepanikan yang terjadi di masyarakat juga bukan
politisasi untuk menggagalkan program nasional tax amnesty. Apa
yang terjadi saat ini murni kebingungan masyarakat yang direfleksikan dalam
berbagai bentuk pesan dan reaksi. Apa yang kita rasakan sekarang adalah sebuah
kegagalan komunikasi publik pemerintah akibat perencanaan pesan yang tidak
jelas, komunikator yang kurang mumpuni dan ketidakjelasan target yang
disasar.
Ketika
isu ini masih ada di parlemen, publik sudah disuguhkan isu adanya barter
politik dibalik persetujuan UU Tax Amnesty. Meski sempat ramai namun
undang-undang tersebut mulus dan hampir tidak ada kendala dalam pengesahannya.
Dukungan politik di parlemen membuat pemerintah abai dalam hal
mengkomunikasikannya kepada masyarakat. Pemerintah sudah euforia
dengan mendapatkan payung hukum tax amnesty sehingga merasa punya tiket
melakukan apa saja untuk meraup duit dari masyarakat. Padahal payung hukum saja
tidaklah cukup. Kesuksesan program yang digadang-gadang mampu menambah
penerimaan negara hingga 165 triliun ini adalah dukungan dan partisipasi
publik.
Pemerintah
mungkin lupa bahwa yang dihadapi adalah publik bukan parpol atau individu tokoh
politik. Sehingga mengandalkan semuanya pada pemberitaan di media dan seperti
biasanya isu akan cepat berlalu. Namun untuk soal pajak, tidak semudah
menghadapi parpol yang bisa di barter dan di lobi. Urusan pajak adalah urusan
perut, urusan ekonomi masyarakat yang kadarnya cukup sensitif.
Pesan Tak Sampai
Di awal
isu tax amnesty bergulir, pesan yang diterima publik adalah program ini untuk
menyasar wajib pajak kelas kakap dengan menarik harta karun WNI yang
tersimpan di luar negeri sehingga dukungan pun banyak mengalir apalagi
dengan iming-iming penerimaan negara yang sangat besar dari program tersebut. Namun
setelah UU Tax Amnesty bergulir, yang terjadi tax amnesty berlaku bagi semua
golongan wajib pajak. Publik bereaksi dan panik, merasa pemerintah berbohong
soal tax amnesty. Apalagi ormas sekelas Muhamadiyah pun melakukan gugatan ke MK
terhadap UU Tax Amnesty sehingga menguatkan publik bahwa undang-undang ini
memang bermasalah. Isu terus bergulir dan menjadi bola liar hingga muncul
hastag #StopBayarPajak. Giliran pemerintah yang panik!
Simpang
siur informasi, pesan yang tidak jelas dan manajemen isu yang lemah, membuat
tax amanesty yang awalnya positif menjadi negatif di mata publik. Meski
pemerintah berusaha menjelaskan yang sebenarnya tapi info yang beredar bahwa
pemerintah sulit ambil duit pajak dari luar negeri lalu beralih ke dalam negeri
sudah menancap cukup kuat. Sehingga apapun yang dikatakan pemerintah menjadi
tidak berarti apalagi kondisi di lapangan memang demikian, semua pihak diminta
ikut tax amnesty tanpa kecuali.
Dalam teori
perencanaan pesan disebutkan bahwa pesan yang dibuat dan disampaikan harus
disesuaikan dengan tujuannya (Littlejohn; 2005). Jika tujuan pemerintah adalah
menarik dana masyarakat dari pajak yang tidak dilaporkan maka pesan yang dibuat
bukan dengan menekankan pada pengambilan harta yang disembunyikan di luar negeri, seperti yang
digaungkan sejak awal.
Pesan cara begini hanya bertujuan menarik simpati
publik melalui pemberitaan di media. Dampaknya adalah apa yang ada di benak
publik dengan realisasi di lapangan berbeda jauh sehingga menimbulkan reaksi,
kecemasan, perlawanan dan ketidakpercayaan. Dengan kata lain ekspektasi dengan
realisasi berbeda sangat jauh.
Ketika
kesan pertama yang ditangkap berbeda dengan kenyataan di lapangan, timbullah
kebingungan. Ditambah lagi semakin banyaknya informasi tentang tax amnesty, baik
resmi maupun tidak, ada yang fakta atau rekayasa secara masif melalui sosial
media makin membuat bingung dan meresahkan.
Tidak adanya
keseimbangan antara informasi yang dibutuhkan dengan informasi yang disediakaan
menimbulkan ketidakpastian sehingga dapat menimbulkan kericuhan. Ketidakpastian
juga bisa terjadi karena terlalu banyak informasi yang mereka dapat (Goldhaber;
1993)
Persis
apa yang disampaikan Goldhaber, ketika publik mendapatkan terlalu banyak
informasi dan tidak tahu mana info yang benar dan salah, muncullah
ketidakpastian. Apalagi publik hanya mendapat klarifikasi yang
sepotong-sepotong dari pemerintah dan membacanya di media dan media sosial yang
juga belum terkonfirmasi kebenarannya.
Sementara
flyer yang dibuat Ditjen Pajak dan dibagikan di setiap kantor pajak dan bank
tidaklah cukup. Apalagi isi pesan di flyer tersebut lebih banyak menjelaskan
tata cara pendafaran tax amnesty bukan hakikat, tujuan, sasaran dari tax
amnesty tersebut. Ditambah petugas pajak pun menjawab sesuai undang-undang
bahwa tax amnesty berlaku untuk semua lapisan yang merasa belum melaporkan
hartanya.
Aktor Publik
Dalam
setiap perencanaan pesan selalu ada orang yang menyampaikan pesan tersebut.
Keberadaan sang pembawa pesan ini menjadi penting apalagi di saat situasi
informasi tidak terkendali. Apa yang terjadi dengan geger tax amnesty ini tidak
hadirnya komunikator tax amnesty yang tangguh, mengerti masalah dan kredibel di
mata publik.
Harus diapresiasi,
untuk tax amnesty, presiden langsung berdiri paling depan, mengajak orang-orang
kaya, para pengusaha untuk membangun negeri dengan ikut tax amnesty. Namun seringnya
presiden bicara di forum-forum resmi berdasi membuat publik semakin yakin bahwa
tax amnesty memang diperuntukkan untuk pengusaha dan golongan kaya raya.
Apalagi yang selalu diungkapkan presiden adalah mengajak WNI yang ada
di luar negri untuk ikut dalam tax amnesty agar dana-dana trilunan bisa masuk
melalui bank, pasar modal dan berbagai instrument investasi lainnya.
Dengan
hanya mengandalkan presiden sebagai komunikator tax amnesty maka saat terjadi
masalah mispresepsi dan miskomunikasi di masyarakat maka harus presiden pulalah
yang bisa menenangkan. Kondisi seperti ini sudah tentu kurang sehat dalam
manajemen komunikasi publik pemerintah, buat apa presiden punya staf dan
pembantu-pembantunya jika untuk urusan yang terkait dengan publik harus turun
lagi. Kecuali kalau memang presiden sendiri yang menginginkannya untuk selalu
tampil sebagai problem solver di
tengah masyarakat.
Sejatinya
dalam setiap program atau pesan yang ingin disampaikan ke publik dengan tujuan
agar publik memahami dan berpartisipasi dengan program yang diluncurkan.
Penunjukkan komunikator menjadi hal yang penting. Komunikator-komunikator ini
menjadi aktor publik yang tampil di media maupun tampil di tengah masyarakat.
Dalam teori konstruktivisme yang dikemukakan oleh Jesse Delia, 1982, bahwa
orang yang ingin memilki persepsi kognitif yang komplek terhadap orang lain,
akan memiliki kapasitas komunikaasi secara canggih (rumit ) dengan hasil yang
positif. Dijelaskan Delia, orang yang seperti ini mampu menyusun pesan-pesan retorik yang logis, fokus kepada objek sehingga dapat mencapai
tujuan.
Sebagai suatu teori, konstruktivisme berkaitan dengan proses kognitif
seseorang yang melakukan komunikasi pada situasi tertentu. Kemampuan orang dalam
menyusun pesan-pesan komunikasi untuk situasi dan kondisi tertentu relatif akan
lebih berhasil dibandingkan dengan mereka yang melakukannya tanpa persiapan.
Pertanyaannya sejauhmana persiapan
pemerintah dalam hal sosialisasi tax amnesty. Apakah komunikator-komunikator
tangguh sudah disiapkan untuk menjawab semua pertanyaan publik dan masalah-masalah
yang akan muncul. Jika dilihat dari kondisi sekarang, bisa dipastikan hal ini
tidak dilakukan. Pemerintah
terlalu pede dengan dukungan politik,
payung hukum dan media sehingga lupa dengan konsekuensi yang mungkin timbul
jika publik bereaksi.
Saat isu tax amnesty menjadi blunder
liar di publik, pemerintah terlihat gagap untuk menjawab dan menjelaskannya
secara gamblang. Terkesan ada yang disembunyikan atau terlalu berhati-hati
sehingga yang terjadi adalah kebingunan yang berubah jadi kepanikan lalu muncul
keraguan dan diakhiri dengan gugatan dan apatisme.
Perasaan Publik
Masalah pajak bukan hal mudah bahkan
hingga hari ini masih banyak warga negara Republik Indonesia masih gagap isi SPT. Sehingga jika ada undang-undang
baru yang terkait dengan pajak harusnya ada sosialisasi yang terukur bukan
dengan gebyah uyah langsung diberlakukan seperti tax amnesty. Dalam hal tax
amnesty pemerintah sepertinya kebelet ingin mengejar target sehingga lupa
menyiapkan segala sesuatunya termasuk tidak memperkirakan dampak yang akan
muncul.
Sebenarnya jika pemerintah fokus
pada pesan awal yang ingin menyasar WNI yang hartanya tersebar di luar negeri dan orang-orang
berpenghasilan besar saja, situasinya tidak ricuh seperti sekarang. Namun
sayangnya pemerintah tidak konsisten dengan tujuan awalnya meski memang
undang-undang berlaku untuk semua golongan namun setidaknya pemerintah punya
prioritas. Daripada ingin mengambil banyak wajib pajak tapi dampaknya luas
lebih baik ambil golongan yang sedikit tapi dampaknya kecil dan hasilnya besar.
Yang lebih mengherankan lagi, menyasar tax amnesty
ke wajib pajak umum dengan menebar ancaman denda hingga 200 persen jika
ditemukan harta yang belum dilaporkan. Sehingga reaksi publik yang sudah kaget
dengan tax amnesty makin panik sehingga berujung pada pengungkapan kekecewaan.
Disinilah pemerintah terlihat kurang menyentuh nurani dan perasaan publik.
Mungkin dengan ancaman denda 200 persen, pemerintah
mengambil ungkapan change behaviour by inducing anxiety (Semenik, 2010), yakni menebar ancaman untuk mengubah perilaku. Memang ini bisa efisien tapi jika terlalu banyak kecemasan yang diberikan akan menimbulkan ketidaknyamanan dan reaksi yang sulit dikendalikan.
Kasus ini harus jadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk tidak lagi asal bicara
dan menggampangkan rasa di
ruang publik. Target
165 triliun yang sangat berharga bagi keuangan negara tidak bisa dicapai hanya
dengan menyorongkan presiden sebagai komunikator utama. Karena ketika hidup
semakin susah, rakyat juga berpikir realistis dan logis. Pengaruh ketokohan
menjadi tidak dominan ditengah kondisi ekonomi yang belum stabil dan arus
informasi yang semakin deras serta terbuka seperti sekarang.
Geger tax amnesty adalah bentuk
kegagalan yang nyaris sempurna dari kegagapan komunikasi. Pesan yang belum jelas dan simpang
siur, tidak hadirnya komunikator yang tangguh dan kredibel untuk menjelaskan
soal tax amnesty dan tidak jelasnya sasaran yang dituju dari tax amnesty.
Saatnya presiden, kementerian, lembaga melakukan perencanaan pesan yang baik dengan manajemen komunikasi
publik yang taktis dan terukur. Jadikan kegagalan komunikasi tax amnesty
ini sebagai momentum perubahan manajemen komunikasi publik untuk semua program
pemerintah di berbagai sektor. Rakyat Indonesia sebenarnya warga yang penurut
dan pengertian namun jika perencanaan pesannya amburadul dan tidak terintegrasi,
yang terjadi bukan ungkap, tebus, lega tapi jadi usil, kesal, begah. #JanganBerhentiBayarPajak
No comments:
Post a Comment