http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=3&date=2016-05-18
Makin
bertambahnya daftar kasus kejahatan seksual, yang ironisnya dilakukan oleh
remaja bahkan anak, membuat kita makin menyadari pentingnya pendidikan di dalam
sebuah keluarga. Semakin banyak keluarga yang kuat dan hangat, semakin kokoh
pula bangsa ini. Sebaliknya, jika di dalam sebuah keluarga, sudah tidak ada
lagi kehangatan, kasih sayang, kepedulian, masalah-masalah kerap timbul.
Dampaknya, tidak hanya untuk keluarga itu sendiri tetapi juga masyarakat
sekitarnya.
Masalah-masalah yang terjadi di dalam sebuah keluarga, seringkali berakar dari komunikasi. Komunikasi di dalam keluarga tidak hanya antara orangtua dan anak, tetapi juga suami dan istri. Kekurangmampuan suami dalam memahami apa yang diinginkan istri, begitu pula sebaliknya, berkembang menjadi sebuah pertengkaran. Dari pertengkaran kecil yang diabaikan kemudian membesar dan berujung pada perceraian. Kalaupun berusaha bertahan, hari demi hari diisi dengan pertengkaran. Istri menjadi stres dan hal ini akan berdampak pada anak-anaknya. Seorang ibu yang tidak bahagia dikhawatirkan akan melampiaskan kemarahannya kepada anak-anaknya.
Masalah-masalah yang terjadi di dalam sebuah keluarga, seringkali berakar dari komunikasi. Komunikasi di dalam keluarga tidak hanya antara orangtua dan anak, tetapi juga suami dan istri. Kekurangmampuan suami dalam memahami apa yang diinginkan istri, begitu pula sebaliknya, berkembang menjadi sebuah pertengkaran. Dari pertengkaran kecil yang diabaikan kemudian membesar dan berujung pada perceraian. Kalaupun berusaha bertahan, hari demi hari diisi dengan pertengkaran. Istri menjadi stres dan hal ini akan berdampak pada anak-anaknya. Seorang ibu yang tidak bahagia dikhawatirkan akan melampiaskan kemarahannya kepada anak-anaknya.
Ketidakmampuan
dalam memahami pasangan dapat disebabkan karena komunikasi yang terjalin
berjalan satu arah dan tidak mau mendengarkan. Padahal aktivitas ini merupakan
bagian dari komunikasi karena jika ingin memahami apa yang dimaksud dan
dirasakan oleh seseorang, kita perlu mendengarkan dengan empati (Rodgers &
Farson dalam DeVito). Dengan berempati, suami akan mendengarkan keluh kesah
istri (dan tentu sebaliknya), mencoba memahami pemikiran dan perasaannya
sehingga diharapkan terjalin pengertian dan solusi dari masalah yang ada.
Komunikasi
Orangtua-Anak
Beberapa
studi mengatakan bahwa anak-anak yang memiliki ikatan kuat dan merasa bahagia
dengan orangtuanya cenderung menjadi anak-anak yang berprestasi dan memiliki
kepribadian yang baik. Salah satu faktor yang membuat kedekatan antara orangtua
dan anak, lagi-lagi, adalah komunikasi. Penting bagi orangtua memberikan ruang
bagi anak untuk bicara. Seringkali, orangtua merasa sebagai pihak komunikator
yang harus paling banyak bicara sementara anak menjadi komunikan yang menerima
saja apa yang disampaikan orangtuanya. Kondisi ini membuat ruang diskusi
menjadi tertutup dan komunikasi berjalan satu arah.
Hal
ini tentu berdampak pada keterbukaan anak kepada orangtuanya. Misalnya, anak
tidak mau bercerita apa yang dia alami di sekolah. Bayangkan jika anak tersebut
mengalami kekerasan dari orang lain dan tidak menyampaikan hal tersebut kepada
orangtuanya, kira-kira, apa yang akan terjadi?
Tidak
adanya orangtua sebagai tempat yang mendengarkan membuat anak-anak mencari
pendengar lain. Tak heran jika ada anak-anak yang masih berusia SD, keluar
rumah hingga malam hari hanya untuk berkumpul dengan teman-temannya. Ironisnya
orangtua tidak melihat ini sebagai tanda bahaya bahwa anak perlu diperhatikan.
Data dari Yayasan Kita dan Buah Hati menyebutkan, anak-anak yang termasuk dalam generasi BLAST (Bored, Lonely, Angry, Stress, Tired) sangat mudah bersentuhan dengan pornografi, pacaran, narkoba, miras, rokok, LGBT dan seks bebas. Terbukti, sebagian besar pelaku kejahatan seksual yang terjadi belakangan ini, akrab dengan pornografi dan miras.
Data dari Yayasan Kita dan Buah Hati menyebutkan, anak-anak yang termasuk dalam generasi BLAST (Bored, Lonely, Angry, Stress, Tired) sangat mudah bersentuhan dengan pornografi, pacaran, narkoba, miras, rokok, LGBT dan seks bebas. Terbukti, sebagian besar pelaku kejahatan seksual yang terjadi belakangan ini, akrab dengan pornografi dan miras.
Komunikasi dan
Perkembangan Teknologi
Memberikan
kesempatan kepada anak untuk berbicara, mendengarkan; apa yang mereka rasakan,
siapa teman-temannya, apa yang mereka lakukan, apa yang anak pikirkan terhadap
sesuatu, dan sebagainya, sangat penting bagi orangtua untuk mengenali diri anak
dan memberikan mereka gambaran apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Ketika
anak bercerita ada temannya yang didekati orang tak dikenal di dekat sekolah,
orangtua dapat membekali anak tentang melindungi diri dari orang asing. Jika
semakin mengkhawatirkan, bekerjasama dengan sekolah dapat menjadi solusi yang
tepat.
Idealnya, komunikasi tatap muka
antara orangtua dan anak harus sering dilakukan setiap hari. Sayangnya, kesibukan kerapkali membuat orangtua
mengabaikan makna dari komunikasi tatap muka. Terlebih dengan perkembangan
teknologi yang demikian pesat, beragam aplikasi yang memudahkan orang-orang
untuk mengobrol jarak jauh semakin banyak, makin mengurangi intensitas
komunikasi ini.
Memang,
komunikasi antarpribadi dengan menggunakan sarana media seperti telpon genggam
di satu sisi memberikan kemudahan. Dalam kondisi tertentu, orangtua dan anak
berjauhan, tentu kecanggihan ini dapat digunakan untuk membantu. Namun dalam
kondisi orangtua dan anak tinggal satu rumah, komunikasi tatap muka dalam satu
hari harus diupayakan.
Kecanggihan
teknologi, bahkan video call yang
memungkinkan kedua belah pihak melihat ekspresi masing-masing, dalam konteks
komunikasi orangtua-anak, tidak dapat menggantikan komunikasi tatap muka. Melalui
komunikasi jenis ini, orangtua masih dapat membelai kepala anak, mengusap
punggung dan memeluk hangat sehingga anak merasakan sentuhan orangtuanya.
Komunikasi sentuhan dipercaya dapat mengomunikasikan emosi positif terutama
bagi mereka yang memiliki hubungan dekat (Jones & Yarbrough dalam
DeVito). Anak-anak yang sering mendapat sentuhan dan kehangatan
orangtuanya akan tumbuh menjadi anak yang peduli, memiliki kasih sayang dan
menyenangkan.
Tak kalah penting dalam
berkomunikasi adalah memahami pesan yang dikirimkan anak. Orangtua perlu peka
terhadap kata-kata, gerak tubuh, tinggi rendah suara yang disampaikan anak
sehingga apa yang mereka ingin dan rasakan dapat dimengerti dari pesan
tersebut.
Untuk itu, bertepatan dengan Hari
Keluarga Internasional (15 Mei) dan Hari Komunikasi Internasional (17 Mei), ada
pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita renungi, seberapa sering kita
mendengarkan cerita dari pasangan dan anak-anak kita? Sudahkah kita sebagai
orangtua membekali anak-anak dengan kasih sayang melalui komunikasi?
Jika komunikasi dapat terjalin baik
di dalam sebuah keluarga, anak-anak memiliki orangtua untuk tempat mereka
berbagi cerita, kesempatan untuk melakukan aktivitas negatif dapat dikurangi
dan orangtua mampu memantau perkembangan anaknya dengan baik.
Selamat berkomunikasi dengan
keluarga tercinta.
setuju, bu
ReplyDeletesemua berawal dari keluarga, ya