http://www.tabloid-nakita.com/read/6993/cara-agar-anak-mau-bicara
Ibu Vina panik. Ia menemukan memar di punggung Dimas, putranya yang
berusia 7 tahun. Sudah sejak usia 5 tahun, Dimas memang mandi sendiri sehingga
Ibu Vina tidak mengetahui memar tersebut. Setelah bertanya dan dibujuk-bujuk,
baru diketahui, ternyata Dimas dipukul oleh temannya dua hari lalu. Hmm, kenapa
ya, Dimas tidak mau menceritakan hal tersebut? Ibu Vina juga merasa Dimas tidak
banyak bercerita tentang aktivitasnya di sekolah? Bagaimana ya supaya anak mau
berbicara?
Apa
yang dirasakan oleh Ibu Vina boleh jadi dirasakan juga oleh ibu lain. Tak
sedikit orangtua yang merasa kesulitan untuk mengajak anaknya bicara atau
sekadar mengobrol. Untuk mengajak anak berbicara, sebetulnya tergantung
bagaimana respon orangtua ketika anak mengajak bicara. Apakah orangtua dengan
penuh kesungguhan mau mendengarkan atau hanya sekadar menimpali tanpa terlihat
bersemangat untuk mendengarkan?
Dalam ilmu komunikasi, antusiasme
orangtua untuk mendengarkan cerita anak dapat terlihat dari nada bicara, mata
dan wajah yang bersemangat? Jika orangtua sedang melakukan sesuatu, tinggalkan
terlebih dulu, dan mulailah mendengarkan. Tubss dan Moss dalam Human
Communication menjelaskan bahwa mendengarkan sesungguhnya melibatkan empat
unsur: (1) mendengar, (2) memerhatikan, (3) memahami, dan (4)
mengingat (Tubss dan Moss dalam Human Communication).
Ketika
orangtua berkomunikasi dengan anak, dengarkanlah dengan empati. Stephen Covey
dalam bukunya “The 7 Habits of Highly People” (1990) mengatakan bahwa
kebanyakan orang mendengarkan tidak dengan maksud untuk memahami namun
bertujuan untuk memberikan jawaban.
Maka, ketika anak sedang mencurahkan isi hatinya, mengungkapkan
kekesalannya, cobalah untuk mendengarkannya.
Pada kasus yang dialami Ibu Vina,
terdapat beberapa kemungkinan. Bisa jadi, anak merasa enggan bercerita karena
selama ini, ketika ia mau bercerita, respon dari orangtua kurang baik. Bisa
juga, anak merasa, kondisi tersebut bukan sesuatu yang perlu diceritakan. Jika
alasannya karena faktor kedua, orangtua perlu membekali anak, apa saja hal-hal
yang penting atau perlu diceritakan kepada orangtua. Beri gambaran mana hal-hal
yang penting diceritakan, boleh diceritakan dan boleh tidak.
Hal-hal yang penting untuk
diceritakan misalkan, anak merasa tidak enak badan, ada teman yang sering
menjahili, ada orang asing yang ditemui dan menanyakan sesuatu, dan sebagainya.
Untuk hal-hal yang boleh diceritakan dan boleh juga tidak, misalnya, obrolan dengan
teman.
Jika orangtua menemui seringnya
menyembunyikan sesuatu kondisi yang penting, sebaiknya lakukan komunikasi
dengan anak. Apa yang menyebabkan anak tidak menceritakan hal tersebut kepada
orangtua. Lakukan pula introspeksi diri; apakah selama ini kita sudah berusaha
mendengarkan keluh kesah anak? Ataukah sekadar mendengar namun tetap aktif
dengan gadget kita?
Untuk mengajak anak agar mau
terbuka, selain mau mendengarkan dengan baik dan penuh empati, kita juga perlu
cara yang tepat untuk menggali sesuatu. Cobalah dengan pertanyaan terbuka
seperti, “Kak, menurut Kakak,
teman yang menyenangkan itu yang seperti apa sih?” Dari satu pertanyaan
tersebut dapat berkembang lagi sehingga tercipta komunikasi dua arah.
Salam hangat,
Aprilina Prastari
Pemerhati Komunikasi Keluarga
No comments:
Post a Comment