Banyak kalangan aktivis anak dan
keluarga, termasuk orangtua, resah dengan tayangan televisi kita karena program
yang ditampilkan lebih banyak acara yang bersifat hura-hura, joget-joget, gosip, mistik,
kriminal, sinetron murahan dan lainnya.
Walaupun ada acara agama namun
tetap dikemas dengan cara hiburan yang cenderung banyak syubhatnya. Meskipun
ada edukasinya selalu dalam bentuk hiburan yang lebih banyak sisi menghibur
dibanding pendidikan karakter.
Bahkan untuk program berita
sekalipun, tim redaksi TV lebih banyak memberitakan tawuran, perkosaan,
pembunuhan, konflik bahkan dalam talkshow selalu menonjolkan perdebatan hebat
yang ujungnya diwarnai dengan melempar air, walk out dan selalu bermusuhan.
Apakah redaksi tidak tahu tugas dan fungsinya sebagai insan pers? Sehingga
hanya menampilkan sisi ‘erotis dan dramatis’ dalam segmen pemberitaannya?
Apa yang kita lihat dan saksikan
di televise, apakah selalu mencerminkan situasi kondisi masyarakat kita yang
sebenarnya? Apakah benar-benar masyarakat kita menyukai semua hal di atas?
Apakah ibu-ibu dan anak muda sudah tidak lagi menyukai acara Cerdas Cermat?
Dari Desa ke Desa? Mimbar Agama Islam, Dunia Dalam Berita, Kuis Kata Berkait,
Siapa Berani, Sinetron santun penuh hikmah layaknya ACI, Keluarga Cemara, Rumah
Masa Depan dan Jendela Rumah Kita?
Siapa sebenarnya yang lebih memengaruhi?
Kondisi masyarakat mempengaruhi acara TV atau program TV mempengaruhi perilaku
masyarakat?
Jawabnya adalah rating.
Terdengar klise karena bahasan
tentang rating ini sudah cukup lama namun faktanya pengelola televisi tidak
berdaya. Saat ini hanya ada satu lembaga rating yang menjadi acuan bagi
pengiklan (baik brand owner maupun ad agency-nya) dalam mengiklankan produknya.
Sehingga mau tidak mau, para pengelola TV akan membuat program yang disukai
masyarakat. Jika membuat program yang berbeda dari yang ada siap-siap sepi
iklan dan ujungnya program itu pun digeser dan diganti dengan program yang
ratingnya tinggi sehingga mudah dapat iklan.
Sehingga jangan heran, jika ada
program joget-joget di salah satu teve, ratingnya tinggi maka akan diikuti oleh
teve lainnya untuk membuat program sejenis. Bahkan supaya ada nilai pembedanya
program joget itu menampilkan goyangan baru yang mengajak masyarakat di studio,
ibu-ibu, nenek-nenek, anak-anak, bapak-bapak ikut joget bareng dengan segala
kondisinya.
Tidak hanya program hiburan,
rating memengaruhi. Program berita pun terkena dampaknya. Tak mengherankan jika
ada program berita pagi hari (yang seharusnya diisi dengan tayangan yang
positif dan menyemangati) jutru tampil
dengan informasi orang gantung diri, tawuran, dan tindakan kriminal lainnya.
Hal ini, lagi-lagi tak terlepas
dari rating. Faktanya pada saat hasil survey dibuka setiap malam, justru segmen
yang terkait hal tersebut di atas ada di posisi tertinggi dibanding berita
tentang budaya,Hankam, ekonomi dan hal-hal positif tentang kemajuan suatu
bangsa.
Jika demikian, masih adakah
harapan dan idealisme insan pers? Apakah pengelola TV menyukai kondisi yang
sangat tergantung pada lembaga rating?
Jawabnya, idealisme masih ada dan
sebenarnya mereka pun tidak mau didikte oleh rating. Namun saat ini tidak ada
pilihan bagi pengelola televisi selain mengikuti rating. Karena jika acara
tanpa iklan, akan sulit bagi televisi menjalankan operasional mengingat
biayanya yang sangat besar. Quo vadis?
Bagaimana televisi kita ke depan?
Selama pemerintah dan DPR diam saja, KPI tidak banyak melakukan terobosan dan hanya
menuntut program bagus, serta para akademisi komunikasi tidak melakukan
inovasi, maka situasi ini tidak akan banyak berubah. Arah bangsa ini ditentukan
oleh sebuah lembaga yang “menjajah” dan
“menguasai”bangsa ini dengan cara yang sulit untuk dilawan dengan fisik. Namun
yang terpenting daripada itu, insan televisi harus mampu bangkit, keluar dari
belenggu rating yang memperbudak, merusak dan menghancurkan. Wallahu a’lam
bishowab. (GMS)
No comments:
Post a Comment