Atrocity Propaganda Ala Israel

Atrocity Propaganda Ala Israel

 

Dalam situasi perang, aktivitas politik dan ekonomi, propaganda kerap dilakukan dalam membangun opini publik. Propaganda merupakan upaya yang sistematis dan terencana yang dilakukan secara berulang dalam menyampaikan pesan untuk memengaruhi dan mengubah pandangan, pendapat dan tingkah laku (Bachtiar et al., 2016). Tujuannya jelas. Salah satunya, menumbuhkan kebencian terhadap musuh. 

Salah satu propaganda, khususnya yang dilakukan pada masa perang adalah propaganda kekejaman atau atrocity propaganda. Propaganda ini melakukan penyebaran informasi tentang kejahatan yang dilakukan oleh musuh; mungkin bersifat faktual namun seringkali menampilkan rekayasa atau membesar-besarkan sebuah informasi dengan disengaja. 

Salah satu bentuk propaganda kekejaman (atrocity propaganda) belum lama ini dilakukan oleh Israel. Pada 10 Oktober 2023, dunia digemparkan dengan pemberitaan yang dilakukan oleh media Israel, i24 yang menyatakan bahwa Hamas telah membunuh dan memenggal bayi dan anak-anak. 
Berita tersebut kemudian disampaikan kembali oleh Presiden AS, Joe Biden. Ia mengatakan bahwa telah mengonfirmasi foto-foto pemenggalan anak-anak oleh teroris. “I have confirmed pictures of terrorists beheading children.” 
Pernyataan tersebut kemudian diklarifikasi oleh seorang pejabat pemerintahan AS yang mengatakan kepada CNN bahwa baik Biden maupun para pembantunya tidak pernah melihat foto-foto atau menerima laporan mengenai informasi pemenggalan tersebut. 
Seperti dikutip dari republika.co.id, pemerintah Israel pun tak bisa mengonfirmasi kebenaran soal klain bahwa para pejuang Hamas melakukan pemenggalan terhadap bayi dan anak dalam serangan pada 7 Oktober 2023. Juru bicara Hamas pun telah membantah tuduhan tersebut. 

Hal tersebut diperkuat dengan investigasi yang dilakukan Anadolu. Agensi berita yang bermarkas di Turki itu kemudian menghubungi militer Israel melalui telepon untuk menanyakan klaim tersebut. Juru bicara mereka mengatakan, "Kami telah melihat beritanya, tetapi kami tidak memiliki rincian atau konfirmasi mengenai hal itu." 

Menyusul pemberitaan Anadolu mengenai tuduhan tersebut, beberapa jurnalis internasional memposting di X yang mengonfirmasi bahwa klaim tersebut tidak benar.  Seorang reporter Prancis yang berbasis di Jerusalem, Samuel Forey, mengatakan pada X bahwa dia berada di pemukiman Kfar Aza, yang terletak kurang dari 2 kilometer (1,2 mil) dari timur laut Gaza, pada Selasa tetapi tidak ada yang menyebutkan dugaan pemenggalan kepala tersebut. (https://mediaindonesia.com/internasional/620741/hoaks-hamas-penggal-puluhan-bayi-hiasi-berita-utama-media-barat)





Permainan Bahasa

Kasus tersebut hanya satu yang dapat terlihat tentang bagaimana propaganda yang dilakukan Israel. Narasi lain yang dibangun media barat adalah apa yang terjadi di Palestina saat ini akibat Hamas yang menyerang Israel terlebih dulu. Melupakan fakta bahwa selama lebih dari 70 tahun mereka telah menjajah Palestina. 

Salah satunya ketika presenter Sky News mewawancari seorang jurnalis dari Palestina, Yara Eid. Sebelum memulai wawancara presenter tersebut menyebutkan “It has been two weeks since Hamas first launched its attack on Israel. 1400 people killed since then. Palestinian officials say that more than 4000 people have died in Gaza.”

Yara kemudian meluruskan pernyataan presenter tersebut. Menurutnya, bahasa sangat penting dalam menjelaskan sebuah kondisi. “I think language is important to use. As a journalist, you have more responsibility to report what’s happening. Palestinians don’t just die, they get killed.” 

Dalam wawancara tersebut, Yara juga menegaskan dan mengklarifikasi framing yang kerap muncul bahwa apa yang terjadi adalah akibat perbuatan Hamas. Bahwa apa yang terjadi di Palestina saat ini bukanlah diakibatkan oleh peristiwa 7 Oktober melainkan perlawanan terhadap penjajahan yang telah terjadi selama 75 tahun di Palestina dijajah oleh Israel. “They are actually being subjected to ethnic cleansing, genocide for the last 75 years. And you mentioned that this Hamas-Israel war. This is not. And framing it as such is very misleading because it poses the thing that Israel is an equal power but it’s an occupying power.” 

Aktivis Palestina, Maimon Herawati, dalam sebuah diskusi menambahkan bahwa selain menguasai media-media di Amerika, menjalin hubungan baik dengan elit politik merupakan strategi yang dilakukan untuk menguatkan propaganda tersebut. 

Mempelajari dari Berbagai Sumber 

Bagi mereka yang tidak mengikuti perkembangan di Palestina, tidak sedikit yang mempercayai dan akhirnya “memaklumi” bahwa apa yang Israel lakukan merupakan sebuah balasan. Percakapan di media sosial, bahkan di Indonesia, sempat mengemuka oleh sebagian warganet. 

Pro kontra tentang peristiwa di Gaza atau pembunuhan warga sipil di wilayah Palestina adalah bentuk keberhasilan Israel dalam menanamkan ghozwul fikr atau perang pemikiran dan informasi terhadap seluruh warga dunia tak terkecuali di Indonesia. Israel yang jelas menjajah, merebut tanah Palestina dan membunuh warga justru kerap kali seperti menjadi korban dan Hamas yang melakukan perlawanan sporadis dikonotasikan sebagai teroris yang menyusahkan kedua belah pihak. 

Kita, khususnya umat islam di Indonesia, harus memiliki nalar dan literasi yang baik tentang peristiwa di Gaza dan sejumlah wilayah di Palestina. Bersifat skeptis untuk berita yang diturunkan media barat dan tidak menelan mentah-mentah informasi yang mereka berikan. Tidak mempercayai begitu saja pemberitaan media barat (AS dan Eropa) karena banyak konglomerat media di dua wilayah itu adalah keturunan Israel atau mereka sudah bekerjasama dengan Israel.

Hal lain yang bisa dilakukan untuk mendapatkan alternatif informasi dan mengimbangi pemberitaan dari media mainstream asing adalah dengan memanfaatkan media sosial untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya terjadi dari mereka yang tinggal di sana, mengetahui kondisi yang terjadi dan memiliki kesamaan visi. 

Ada beberapa warga Indonesia yang menjadi Youtuber atau content creator yang bisa memberikan informasi tentang situasi di Palestina seperti Bang Onim dan Muhammad Husein Gaza. Di Instagram, beberapa akun media sosial seperti Smart171, Adara Relief, dan beberapa lembaga kemanusiaan lain bisa menjadi referensi sebelum menelan mentah-mentah pemberitaan yang menyudutkan Palestina.  (APR)


15 Naskah Pemenang Sayembara Naskah Kajian Literasi Terapan Berbasis Konten Lokal 2023

15 Naskah Pemenang Sayembara Naskah Kajian Literasi Terapan Berbasis Konten Lokal 2023

 

Setelah sempat mundur dari jadwal seharusnya, akhirnya pemenang “Sayembara Naskah Kajian Literasi Terapan Berbasis Konten Lokal (SNKLTBN) yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional RI, diumumkan pada 18 September 2023. Alhamdulillah, naskah yang saya tulis berjudul “Jejak Silat Betawi di Pinggir Kota Bekasi” terpilih sebagai salah satu pemenang. 


Menerima penghargaan, mewakili pemenang yang lain. (Dok. foto: Perpusnas)


Sempat Ingin Mundur

Awalnya, saya mengetahui informasi lomba ini dari grup anggota andal Forum Lingkar Pena. Membaca judul lombanya, sebetulnya, saya masih meraba-raba, seperti apakah naskah lomba yang diharapkan dari lomba ini. Sempat membaca salah satu naskah pemenang tahun lalu dan mencoba mencari formula sendiri. 

Kalau dilihat dari judul lomba dan persyaratannya, saya menilai bahwa naskah yang diharapkan tentunya harus mengandung unsur lokalitas yang kuat. Meski tidak mengharuskan mengangkat cerita dari daerah penulis berasal atau tinggal, saya merasa lebih familiar untuk cerita yang mengangkat tentang Bekasi atau Jakarta. Tapi apa ya? Makanan, sudah terlalu banyak. Kesenian? Hmmm… saya masih belum sreg. Meskipun saya paham bahwa topik yang sama atau sudah terlalu umum bisa menjadi unik jika penulis mengangkat dari angle yang berbeda. 

Setelah coret-coret, diskusi dengan suami, saya akhirnya memutuskan untuk mengangkat silat di Bekasi. Tapi dari angle apa? 

Langkah pertama yang saya lakukan adalah riset dari beberapa sumber referensi tentang silat. Menarik tapi saya belum mendapat gambaran utuh mengenai sejarah silat di Bekasi. Saya lalu berkomunikasi dengan Aki Maja untuk menanyakan nara sumber yang mengerti tentang sejarah Bekasi. Oleh beliau saya diberi dua nama namun Bang Endra Kusnawan, pegiat sejarah Bekasi, yang merespon dengan baik. Setelah mengatur jadwal temu, Sabtu sore saya mengunjunginya di Gedung Juang, Bekasi. 




Berbincang dengan Bang Endra membuat saya ragu-ragu untuk melanjutkan. 
“Sepertinya perlu waktu lama untuk menggali sejarahnya, ya. Kalau saya sampai salah tulis, bisa menyesatkan nih,” ujar saya pada suami. 

Sepulang bertemu Bang Endra, saya sempat mau menunda menyelesaikan naskah. Saya lihat kalender. Kurang dari 3 minggu lagi tenggatnya dan saya baru mengumpulkan bahan. Itu juga masih jauh dari lengkap. Saya cek pekerjaan lain yang saat itu masih agak longgar. Pekerjaan berikutnya masih dimulai pertengahan Agustus. Kampus juga masih libur mengajar. Jadi harusnya sih, kalau dipaksakan in syaa Allah bisa. 

15 Naskah Pemenang


Ganti Outline 

Setelah melihat outline yang sebelumnya sudah buat, memang memerlukan waktu yang lebih lama karena banyak menggali sejarah silat, jawara Bekasi. Ada juga beberapa informasi yang cukup sensitif untuk diangkat dan bukan kapasitas saya untuk menceritakan hal tersebut. 

Melihat beberapa kondisi, akhirnya saya mengganti outline dan fokus pada beberapa perguruan silat yang boleh dikatakan tradisional yang masih ada di sekitar Pondok Gede, Bekasi, dan sekitarnya. 

Beberapa informasi perguruan silat saya dapatkan dari Pak Rahmat Malik, Ketua IPSI Bekasi. Beberapa perguruan silat tersebut adalah Garuda Paksi, Pendekar Sumur Tujuh dan Sanggar Maen Pukulan “Ji-Ung”. Semuanya di pinggir kota Bekasi. 

Dari beberapa wawancara tersebut, banyak hal menarik yang saya dapatkan. Bukan hanya sejarah Pondok Gede dan Jatimakmur, tempat kami tinggal tapi bagaimana kondisi Bekasi saat-saat awal kemerdekaan. 

Perjuangan Melestarikan Beladiri Silat 

Di tengah bela diri dari luar negeri, apalagi dengan keseruan media sosial, keberadaan perguruan silat ini haruslah diapresiasi. Mereka berusaha untuk memberikan aktivitas bermanfaat untuk anak-anak muda meskipun jumlah anggota yang tidak banyak. Jangan berpikir bahwa perguruan silat ini memiliki tempat khusus untuk berlatih. Mereka menggunakan tempat seadanya. Namun dari situlah semangat itu mereka tempa. Sesuai filosofi dari silat. 

Dok foto: Aprilina Prastari


Cerita Mardani dari PS Pendekar Sumur Tujuh, ada anak-anak yang dikenal bandel jadi berubah baik setelah belajar silat. 

Pastinya, tidak hanya melestarikan budaya, masuk perguruan silat juga akan membangun rasa cinta pada budaya. 

“Saya memilih untuk membangun sanggar silat karena saya ingin meneruskan apa yang diajarkan orang-orang tua dulu, saya cinta budaya betawi dan saya ingin anak-anak muda mengenal dirinya lewat budaya kearifan lokalnya sendiri,” tegas Farid, pendiri Sanggar Maen Pukulan “Ji-Ung”. 
(Aprilina Prastari)




Radio, Berselancar di Atas Ombak Digital

Radio, Berselancar di Atas Ombak Digital

Radio saat ini memasuki masa-masa krusial. Kemajuan teknologi, perubahan perilaku audiens dan kondisi pasar yang makin absurd menuntut stasiun radio melakukan perubahan menyeluruh, melakukan inovasi  dan menentukan visi baru tentang media bernama radio.

Sebenarnya sebelum euforia digital, industri radio juga sedang tidak baik-baik saja. Kondisi makin berat saat pasukan covid menyerang.  Disrupsi digital yang datang tak diundang menambah beban berat bagi radio. Apalagi untuk teman-teman radio di daerah yang sejak lama sulit kini makin terasa amat berat. 
Meskipun sebenarnya radio memiliki kedekatan lebih intim dengan teknologi digital dibanding media cetak namun pendekatan digital tidak selalu sama dengan kebiasaan orang-orang radio dalam bekerja. Mulai dari mind set, sumber daya manusia yang melek digital, pengetahuan, peralatan dan semua pernak-pernik digital termasuk mengemas serta memasarkannya. 
Orang radio yang biasanya berkutat pada soal segmentasi,  tagline, prime time pagi sore, kocokan lagu, durasi kini harus menghadapi sebuah disrupsi yang mengubah banyak hal secara fundamental. 
Orang-orang yang ada di industri radio, memiliki dua PR besar, yakni menjadikan radio masih relevan dalam situasi saat ini dan meyakinkan pengiklan bahwa radio memberi dampak pada brand mereka. 

Covid-19 dan Kekuatan Radio

Covid 19 yang datang waktu itu sebenarnya menjadi pembuktian kesaktian radio. Di saat krisis, radio tetap hadir mengudara, dimanapun dan kapanpun. Radio menjadi ujung tombak sosialisasi dan kampanye tentang covid dan pencegahannya di seluruh Indonesia. Bahkan menurut PRSSNI, jumlah pendengar radio justru naik signifikan pada saat covid. Pengikut medsos pun melonjak signifikan.
Bukan hanya itu Covid-19 membuat stasiun radio cepat adaptasi dan bertransformasi menjadi media audio dengan pendekatan digital. Konten on air didukung dengan konten di media sosial dan portal. Bersiaran dengan menggunakan zoom, talkshow dengan berbagai narasumber mancanegara secara daring.
Sejumlah pengiklan dari kementerian, lembaga dan korporasi mempercayakan sosialisasi kebijakan dan promosi produknya di radio dan media sosial radio. Sehingga radio pada saat covid khususnya di kota-kota besar relatif berkinerja positif. 

Peran radio dalam menyukseskan program pemerintah selama covid, seperti vaksin dan gaya hidup sehat harusnya menjadi momentum bagi industri radio untuk bangkit. Dengan terus memainkan isu-isu publik dan menjadi teman bagi pendengar dalam mendapat informasi penting, to be used dan berguna. Namun sayangnya momentum itu tidak maksimal dimanfaatkan padahal kepercayaan publik terhadap media mainstream khususnya radio sedang tinggi di tengah maraknya hoaks di media sosial. 





Bukan Sekadar Digital

Apa yang bisa dilakukan radio di era disrupsi saat ini? Berselancarlah di atas ombak digital. Menolak perubahan dan teknologi tidak mungkin, membiarkannya pun sebuah kesalahan. Jadi harus dihadapi layaknya seorang peselancar, tetap berusaha berdiri, kalau jatuh, bangun lagi, tenggelam, muncul lagi sampai pada satu titik keseimbangan baru. 
Berselancar di atas ombak dan gemuruh badai bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi ombak digital yang bisa berubah dengan cepat. Karena mengurus radio bukan hanya soal menjadi digital banyak ornamen dan pernak-pernik yang harus diurus. Alih-alih fokus digital hingga lupa dengan basis tradisional radio, yakni pendengar setia. 
Kepengin digital juga bukan sekadar digital. Harus ada goal yg jelas, rencana yang matang hingga, konten yang sustain dan pastinya cara memasarkan dan menjualnya. Bukan sekadar bikin akun, apps, ada podcast, hadir di youtube, tik tok dan sejenisnya. Karena kalau hanya sekadar bikin, biar terlihat moderen tanpa memahami esensi dari konten digital dan dalam prosesnya tidak melibatkan banyak pihak, mulai dari marcom, sales, GA, teknik, dan keuangan maka bisa dipastikan akan gagal. 
Karena digital itu mahal, cost center sehingga harus ada daya tahan keuangan perusahaan. Apalagi jika infrastruktur dan kontennya sudah digital tapi cara jualannya masih konvensional. Sehingga diperlukan pemahaman berjamaah tentang digital dari mulai pimpinan jajaran direksi, GM, Manager, Staf di semua unit agar bisa bergerak cepat, simultan dan akur. 




Interaksi adalah Koentji

Masuk ke dalam ruang digital adalah keniscayaan untuk industri radio karena digitalisasi akan mempercepat perusahaan bertumbuh, baik pendengar maupun revenue. Sumber pendapatan yang tadinya hanya dari spot, adlibs, event kini bisa didapat dari traffic media sosial yang dimiliki. Aset digital jika diurus serius akan mendatangkan cuan signifikan karena bisa dimodifikasi dalam berbagai bentuk. 
Namun masuk ke digital bukan berarti melupakan urat nadi dari radio, yakni interaktif. Banyak radio meninggalkan interaksi karena fokus pada konten dan lagu. Padahal satu-satunya keunggulan radio yang tidak dimiliki media lainnya termasuk medsos adalah interaksi antara penyiar dan audiens. 
Interaktif di radio menjadi penting di tengah sebaran hoaks yang makin meluas dan komentar medsos yang negtif, penuh kebencian. Radio interaktif memungkinkan pendengar untuk bertanya dan berkomentar tentang suatu hal, informasi atau hal-hal lainnya tentang kegundahan hati dan ketidaksetujuan terhadap satu kebijakan. 
Begitu juga yang berinteraksi di media sosial, seperti WA atau saluran komunikasi lain dari siaran yang kita lakukan karena mereka adalah pendengar setia yang harus dijaga dan dirawat karena mereka aset penting buat radio. 
Interaksi penyiar dan audiens tidak bisa digantikan dengan mesin, AI dan lainnya. Interaktif radio itu orisinil, ditanya dengan hati, dijawab dengan perasaan. Jika pendengar sudah puas dan mendapat segalanya termasuk bisa menentukan sikap dari media kita maka dia tidak akan pernah mencari ke hati yang lain.
Orang radio, siap berselancar? 

Gaib Maruto Sigit (Pemimpin Redaksi MNC Radio Network)


Artificial Intelligence (AI) dalam Industri Komunikasi: Ancaman atau Peluang?

Artificial Intelligence (AI) dalam Industri Komunikasi: Ancaman atau Peluang?

 

    Kemajuan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) diprediksi akan sangat berpengaruh pada kebutuhan sumber daya manusia. Laporan dari World Economic Forum (WEF) pada Mei 2023, seperti dikutip dari Kata Data melaporkan bahwa setidaknya 23% atau sekitar 83 juta pekerjaan di dunia akan hilang, sementara hanya 69 juta pekerjaan baru akan muncul. Artinya, ada sekitar 14 juta profesi di dunia akan berkurang dalam waktu lima tahun ke depan. Jenis pekerjaan apa saja yang akan hilang di industri komunikasi dan bagaimana menyikapinya?

    Ayu Purwarianti, Ketua Pusat Artificial Intelligence ITB dalam Indonesia Digital Conference yang diselenggarakan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) pada bulan Agustus 2023 di Bandung, menjelaskan bahwa setiap masa revolusi industri, pasti ada beberapa pekerjaan yang hilang, berganti dengan yang baru. 

    Sementara Davyn Sudirjo, founder masa.ai justru menilai keberadaan AI bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. “AI hanya tools. Pekerjaan yang butuh pemikiran akan susah digantikan oleh AI.”
Meskipun, Davyn mengakui, pekerjaan yang modelnya repetitif, tidak perlu banyak berpikir, bisa digantikan oleh AI. 



AI Dalam Dunia Jurnalisme 

    Ketua  Dewan Pers, Ninik Rahayu,  dalam paparannya menggambarkan bagaimana peluang dan tantangan di bidang jurnalisme. Mengutip riset yang dilakukan Sri Oktika Amran dan Irwansyah pada 2018, AI memang mampu menghasilkan berita cepat dalam jumlah besar, menghemat biaya produksi. Untuk membantu penulisan berita pada peristiwa yang relatif memiliki data dengan pola repeititif-statistik-atomasi daya-algoritma. Misalnya, pada berita pertandingan sepak bola, peristiwa bencana alam. Namun, tetap membutuhkan manusia untuk melakukan verifikasi dan melengkapi dengan sumber yang kredibel. 
Lebih lanjut Ninik menjelaskan bahwa AI juga mampu membantu kerja para jurnalis untuk melakukan transkripsi wawancara, mengunggah ke media sosial dan unggah berita (links, SEO). 
Meski begitu, AI juga memiliki kekurangan, diantaranya, ketidakmampuan menghadirkan konteks, bias, dan permasalahan etika dan hukum (manipulasi foto dan hak cipta). 




    Hal ini tentu saja perlu mendapat perhatian serius dari perusahan pers. Perusahaan pers  memiliki fungsi untuk memenuhi hak masyarakat akan informasi yang benar dan memelihara keberlanjuta media. Kata Ninik, ada dua pilar dalam memelihara keberlanjutan media. Pertama, karya jurnalistik yang berkualitas dan perusahaan pers yang sehat. Melakukan adaptasi teknologi tentu menjadi hal mutlak yang perlu dilakukan namun perlu diingat bahwa konten berita yang dangkal dan minim rasa akan menurunkan kualitas karya jurnalistik. 
    Ini artinya, perusahaan pers harus selektif memanfaatkan AI. 
    “Apapun, kuncinya ada pada jurnalis.”


    Apa yang disampaikan oleh Ninik telah dilakukan oleh Kompas Group (KG) Media. Andy Budiman, CEO KG Media, menjelaskan manfaat kecerdasan buatan untuk kemajuan KG. Pertama, memudahkan untuk melakukan web page personalization dan content classification. Dengan membaca riwayat penelusuran yang dilakukan seorang pembaca, hal ini memudahkan KG untuk menyajikan berita-berita sesuai minat seseorang. Begitu juga dengan personalisasi iklan. Iklan yang dibaca hanya iklan-iklan yang memang menyesuaikan dengan riwayat pencariannya. 

    “Yang paling dirasakan untuk English section. Dengan AI-powered translation, hemat biaya dari Rp850 juta menjadi Rp30 juta, dengan kenaikan jumlah pengunjung hingga 112%,” ungkap Andy.


Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, menjelaskan manfaat AI untuk pemerintahan. 


    Tak hanya media, para konsultan komunikasi politik juga harus cermat menghadapi keberadaan AI. Lucky Djani, founder pemilu.ai membuat platform yang memudahkan caleg untuk mengenal konstituen dan dapilnya. 

    “Kami membuat platform AI untuk pemilu yang menggambarkan secara rinci kondisi suatu daerah yang menjadi dapil si caleg. Lengkap dengan profil masyarakatnya, mulai dari pekerjaan, usia, status, dan lain-lain. Kami juga memberi solusi tema kampanye yang pas untuk setiap dapil, dan slogannya. Jadi caleg tidak perlu menghabiskan biaya besar untuk survey lokasi, sudah bisa datang ke dapil dengan modal data dari kami.  Efektif dan efisien,” ujar Lucky.

    AI memang memberi banyak kemudahan sekaligus ancaman. Namun, jangan panik. Fokus pada apa yang bisa kita manfaatkan dan menunjang kerja. (Aprilina Prastari/komunikolog)














Glow Up: Buku Pegangan untuk Mahasiswa Mau Sukses

Glow Up: Buku Pegangan untuk Mahasiswa Mau Sukses

 

Di sela-sela perkuliahan, biasanya awal pertemuan (terlebih kalau saya belum pernah bertemu dengan kelas tersebut di semester sebelumnya), pertanyaan yang kerap saya tanyakan ke mahasiswa, “apa rencana kamu setelah lulus? Kalau mau kerja, sebagai apa? Kalau mau usaha, usaha apa?”

Buat saya, ini penting. Tidak sedikit mahasiswa, bahkan yang sudah memasuki semester 6, belum punya rencana apa-apa. Padahal, memulai karier, sebetulnya bukan saat mereka lulus kuliah, tapi disiapkan sejak mahasiswa kuliah. Makanya, enggak sedikit orang yang waktu kuliah biasa saja secara akademik, tapi kariernya cepat melesat. Ada juga yang mudah dapat kerja tapi susah beradaptasi dengan suasana kantor. 

Well, … ngomongin dunia kerja memang nggak ada habisnya ya. Banyak hal yang harus kita siapkan, bahkan sebelum lulus kuliah. Nah, buat kamu mahasiswa, sarjana baru atau baru kerja, buku “Glow Up—Sukses Karier untuk Gen Z” ini akan mengupas hal-hal:
- Persiapan sebelum lulus biar lebih “menjual” di mata perekrut (Menyiapkan CV, portofolio, wawancara kerja dan hal lain yang mungkin tidak terpikir sebelumnya)
- Membangun personal branding 
- Hal-hal yang perlu diperhatikan saat awal masuk dunia kerja 
- Tips presentasi dan komunikasi di tempat kerja 
- Ketika memutuskan kerja dan kuliah lagi





O iya, buku ini merupakan pemenang ketiga pada lomba menulis nonfiksi di Penerbit Indiva tahun 2020 lalu lho. 

Mumpung baru terbit, pesan yuk. 
Harga selama masa pre order: Rp 49.000 sampai 25 Desember 2022. 
Pesan langsung ke Penerbit Indiva via WA: wa.me/6281904715588

Terima kasih untuk yang berkenan membeli. Semoga berkah ya





Mengemas Talkshow Radio di Era Digital

Mengemas Talkshow Radio di Era Digital


Talkshow salah satu konten utama di radio, khususnyai untuk radio berita dan informasi.Talkshow memberi ruang bagi pendengar atau audiens memahami suatu peristiwa atau isu secara lebih jelas dan komprehensif.

Jika station radio menggelar acara talkshow maka tujuannya pendengar mengerti suatu persoalan dan dapat mengambil sikap dari materi yang didiskusikan.

Talkshow radio saat ini berbeda dengan talkshow radioi sebelumnya. Kemajuan teknologi dan pandemi covid-19 membuat orang-orang radio menemukan format kreatif talkshow yang berbeda dari biasanya.

Talkshow Radio biasanya dilakukan dengan dua cara, lewat telephone atau narasumber datang langsung ke studio. Kehadiran narasumber ke studio  menjadi kekuatan utama sebuah talkshow karena komunikasi dengan penyiar lebih cair dan tidak ada hambatan sinyal. Sementara talkshow lewat telepon memiliki resiko kualitas suara kurang baik dan sambungan telepon yang bisa tiba-tiba putus.

Persamaan dari kedua model talkshow di atas, dilakukan hanya untuk on air di radio saja. Jika pun ada video, biasanya kualitas gambar dan suara tidak maksimal karena talkshow radio di desain memang untuk on air ansich.

 

Talkshow Zaman Now

Hadirnya teknologi di tengah pandemi, bisa jadi berkah sekaligus musibah bagi pengelola media konvensional. Musibah jika media tidak bisa memanfaatkan teknologi dengan segala keterbatasan karena pandemi.

Kurangnya SDM karena WFH, kegagapan teknologi dan sulitnya keluar dari zona nyaman membuat media itu tertinggal sehingga tidak mampu bersaing dengan media lainnya. Menjadi berkah jika media tersebut mampu beradaptasi dengan keadaan dan perkembangan zaman.

 


Pada saat pandemi, industri radio juga terdampak. Sejumlah kontrak iklan spot, PSA termasuk talkshow mingguan banyak yang ditunda hingga akhirnya dibatalkan. Klien dan narasumber takut ke studio karena covid dan adanya pembatasan.

Agar program tetap lanjut dan bisnis tetap jalan. Talkshow dilakukan dengan menggunakan aplikasi zoom yang suaranya dimasukkan ke mixer studio untuk di on air kan. Sementara gambarnya di tayangkan secara langsung di youtube, portal, IG dan FB.

Kalau pun narasumber datang ke studio, penayangan di platform lain selain on air juga sangat dimungkinkan sehingga sebaran talkshow tersebut menjadi lebih luas.

Kini talkshow radio berubah dari sebelumnya hanya on air saja, sekarang bisa secara simultan tayang di all platform media sosial. Hasil dari talkshow tersebut bisa diambil untuk kepentingan media sosial, khususnya quote-quote yang menarik atau kontroversial, seperti di IG dan tik tok.

Dampaknya, radio punya konten original untuk ditayangkan di media sosial bukan ambil dari video orang lain. Selain itu konten talkshow tersebut memiliki nilai lebih karena bisa dilihat dan dinikmati dari berbagai platform media sosial. Sehingga dampaknya menjadi lebih luas.

Untuk mengemas radio talkshow di era digital dibutuhkan kerja tim yang solid. SDM yang terampil dan didukung alat yang cukup untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi terbaru.

(Gaib M. Sigit)

Tip Mewawancarai Narasumber untuk Penulisan Buku Nonfiksi

Tip Mewawancarai Narasumber untuk Penulisan Buku Nonfiksi


        Bagi penulis nonfiksi, mewawancarai narasumber biasanya menjadi kegiatan yang harus dilakukan. Selain dari buku, media cetak dan internet, mendapat informasi langsung dari narasumber yang kompeten bisa meningkatkan kepercayaan pembaca terhadap apa yang kita tulis. Masalahnya, tidak semua narasumber bisa dengan gamblang memberikan informasi yang kita butuhkan. Ada narasumber yang menjawab sepotong-sepotong, meskipun ada juga narasumber yang tanpa perlu ditanya sudah menjelaskan dengan panjang lebar. Untuk itu diperlukan kemampuan pewawancara untuk dapat menggali dan membuat pertanyaan yang memungkinkan nara sumber untuk menjawab dengan rinci. 

Menghadapi Narasumber

Jika kita bertemu dengan narasumber yang terbuka, ramah dan senang berbicara, bersyukurlah. Kondisi tersebut memudahkan kita sebagai pewawancara untuk menggali banyak informasi darinya. Namun hati-hati. Keasyikan mengobrol bisa membuat wawancara kita terlalu lebar dan tidak fokus pada inti pertanyaan. Jika narasumber sudah melenceng dari pertanyaan, segera kembalikan lagi ke “jalurnya”.

Sebaliknya, kalau kita bertemu dengan nara sumber yang kaku, apalagi jika baru pertama kali bertemu, dan mengalami kesulitan dalam mengungkapkan sesuatu, bersyukur juga. Kondisi itu akan mengajarkan kita untuk pandai menggali pertanyaan. Jika bertemu dengan narasumber tipe ini, buatlah kondisi yang nyaman dan santai. Jangan langsung bertanya serius,tapi mulailah dengan pertanyaan-pertanyaan yang santai. Misalnya, kalau kita mewawancarai narasumber di ruang kerjanya yang penuh lukisan, kita bisa memulai percakapan dari lukisan. Orang biasanya senang kalau ada orang lain yang memiliki ketertarikan yang sama. Tapi, basa-basinya jangan terlalu lama, ya. Bisa nggak mulai-mulai nanti wawancaranya, hehehe. Jika narasumber sudah terlihat nyaman,  barulah masuk ke pertanyaan inti. 

Menyiapkan Pertanyaan
Agar tidak lupa dan semua hal yang kita ingin tanyakan tidak ada yang terlewat, buatlah daftar pertanyaan sebelum kita mewawancarai nara sumber. Sesuaikan pertanyaan dengan tulisan yang ingin kita tulis. Makanya, sebelum kita mewawancarai narasumber, kita sudah mendesain, bagaimana alur tulisan yang ingin kita tulis. Misalnya, kita ingin menulis tentang bagaimana menyiasati anak yang susah makan. Nah, desain tulisan kita kira-kira seperti ini:
- Pengantar ada fase anak susah makan
- Alasan kenapa anak susah makan dan bagaimana mengatasinya
- Menyiasati anak susah makan
- Makanan atau menu untuk anak susah makan

        Nah, kalau kita sudah mendapatkan alur tulisan yang pas, barulah kita membuat daftar pertanyaan. Buatlah pertanyaan yang memungkinkan nara sumber untuk menjawab panjang. Jadi, mulailah dengan “mengapa” atau “bagaimana”.








Menggali Pertanyaan
    
    Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, tidak semua narasumber bisa mengungkapkan jawaban dengan mudah. Kita, sebagai pewawancara, yang harus pandai menggalinya. Gali dari satu pertanyaan. Jangan mudah beralih ke pertanyaan berikutnya kalau narasumber belum menjawab pertanyaan pertama dengan jelas.  
    Sebaiknya, saat wawancara, kita juga sudah membekali diri dengan apa yang ingin kita tanyakan. Misalnya, sebelum bertanya kepada dokter tentang anak susah makan, kita sudah punya sedikit informasi tentang anak susah makan sehingga wawancara bisa lebih cair. Misalnya, “ Dok, saya baca di buku X, anak yang pilih-pilih makanan, juga termasuk susah makan, ya, Dok. Apa ya Dok, penyebab anak suka pilih-pilih makanan?”
Kira-kira begitu deh tip mewawancarai narasumber. Kalau wawancaranya elalui email, pertanyaan yang disampaikan sudah harus benar-benar rinci karena kita tidak memiliki kesempatan untuk langsung merespon jawaban yang diberikan.   Wawancara via email memang memiliki kekurangan dibandingkan secara langsung. Tapi, untuk nara sumber yang sangat sibuk, biasanya ada yang ingin dilakukan via email. 
Tip di atas dilakukan untuk nara sumber yang pernyataannya perlu dimasukkan ke dalam artikel kita. Kalau wawancara untuk menggali profil seseorang, tipnya beda lagi. Mau tahu? Tulis di kolom komentar ya.  





5 Kesalahan Blogger dalam Mengulas Brand

5 Kesalahan Blogger dalam Mengulas Brand

    Semakin pesat pemanfaatan media sosial, brand owner pun semakin giat beriklan di media digital. Bukan hanya memiliki akun dan mengelola media sosialnya saja tetapi juga menggandeng blogger aktif yang memiliki banyak pengikut di media sosial. Bentuk kerjasamanya pun bermacam-macam, salah satunya dengan meminta mereka untuk membuat ulasan tentang brand tersebut di blog.

  Bagi brand, penting untuk direkomendasikan oleh pengguna. Apalagi kalau produk-produk yang memerlukan bukti dari pengalaman pengguna lain. Produk perawatan wajah, misalnya. Konsumen cenderung akan memilih brand yang memang sudah terbukti bagus. Bagi mereka, cerita dari sesama pengguna lebih mengena dan dapat dipercaya. Sayangnya, ada beberapa kesalahan yang dilakukan blogger sehingga berdampak kurang maksimal bagi brand dan konsumen.

    Pertama, hanya memindahkan product knowledge ke dalam tulisan.

    Biasanya klien akan memberikan brief ke para blogger yang di dalamnya berisi, salah satunya, product knowledge. Semua hal yang berkaitan dengan produk, ditulis di situ. Informasi itu tentu saja sebatas informasi yang penyajiannya masih harus diolah lagi. Jadi jangan sampai saat mengulas brand, dari awal sampai akhir yang dibahas cuma jualan saja. Product knowledge harusnya hanya sebagai gambaran blogger tentang sebuah brand, selebihnya, kemas sendiri sesuai dengan pengalaman kita sebagai pengguna.

    Kedua, tidak jujur dalam mengulas.

   Pahami bahwa apa yang akan kita tulis, terlebih jika punya pengikut banyak di media sosial, akan berdampak bagi mereka. Sebagian boleh saja memahami bahwa apa yang kita tulis tidak selamanya murni sebagai pengguna melainkan menulis karena dibayar dan memiliki kewajiban untuk mempromosikan. Memang baiknya, ketika kita mengulas sebuah brand, kita memang sudah memiliki pengalaman yang cukup lama dalam menggunakan brand tersebut. Meski bukan konsumen loyal tapi setidaknya bukan cuma pengguna beberapa hari lalu bisa mengklaim bahwa brand tersebut bagus. Maka, jujurlah dalam mengulas. Contoh nih, seorang blogger harus mengulas brand perawatan wajah. Dia baru memakai 1-2 kali tapi ditulis dalam blognya, dari dulu aku selalu pakai pembersih ini makanya mukaku jarang banget jerawatan. Hayooo nggak boleh bohong. Kalaupun faktanya baru pakai beberapa hari, kamu bisa gunakan kata yang lebih tepat. Misalnya, kemarin coba perawatan kulit baru dari Brand XXX, awal pakai Jadi nggak perlu berlebihan dengan bilang dari dulu atau aku selalu pakai brand ini padahal kamu baru coba 2 kali. Please, deh.

    

Peringatan Hari ASI yang diselenggarakan Anmum yang dihadiri blogger parenting. 


    Ketiga, tidak menyesuaikan dengan persona.

    Memang sih, ada brand owner yang memerlukan blog hanya sebagai media placement. Artinya, konten dibuat oleh brand owner dan blogger tinggal mengunggahnya di blog masing-masing. Kalau seperti ini, biasanya tulisannya sama. Sebetulnya, strategi ini kurang tepat karena sifatnya bukan press release. Namun lain waktu ya kita bahas soal ini.

    Kembali ke tulisan yang tidak menyesuaikan persona, blogger tidak menulis sesuai brand persona yang selama ini dibangun. Atau minimal gaya menulisnya kurang luwes dan mencerminkan dirinya. Padahal yang diperlukan adalah tulisan yang sesuai dengan gaya blogger masing-masing. Kalau gaya tulisannya santai, dibumbui humor ya menulislah seperti itu. Tentu dengan menyesuaikan brand yang kita sedang tulis.

    




     Keempat, tidak mengecek dulu kandungan produk

   Sebelum mengulas, pastikan sudah mengecek kandungan produk yah. Dari mulai kehalalan, bahan-bahan yang digunakan. Jangan sampai sudah dipublikasikan ternyata mengandung zat-zat yang tidak halal sementara sang blogger seorang muslim, misalnya. Mau dibatalkan kontraknya kan enggak enak… Makanya, sebelum ambil tawaran pekerjaan, pelajari dulu baik-baik ya.

   Kelima, menjelek-jelekkan brand lain di kategori produk sejenis

 Meskipun pernah kecewa dengan kompetitor brand tersebut, jangan menjelek-jelekkan atau membandingkan dengan brand yang kamu sedang ulas. Apalagi sampai menyebut nama. Meksipun tujuanmu menulis untuk mengangkat brand yang sedang kamu ulas, tetap saja cara ini kurang bijak dan tidak menguntungkan klienmu. 


Aprilina Prastari

Risala Branding